31/03/10

Seandainya Nurdin seperti Soeratin

0 comments

Kongres Sepak Bola Nasional resmi dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski hanya dua hari, acara ini diharapkan berpengaruh besar terhadap masa depan persepakbolaan Indonesia. Wacana revolusi alias perombakan total kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) santer didengungkan.

Sejatinya, semangat yang diusung bukanlah menjungkalkan rezim Nurdin Halid di PSSI. Agenda yang jauh lebih penting adalah membenahi ketidakberesan yang selama ini terjadi di ajang persepakbolaan nasional. Hanya saja, Nurdin Halid seolah tutup mata tutup telinga atas derasnya kritik yang ditujukan kepada PSSI.

Berbagai alibi dan alasan selalu dikemukakannya. Pada beberapa kali kesempatan diskusi ia bersikeras tidak ada yang salah dengan sepak bola nasional. Bahkan, ia pun terkesan tidak takut dengan KSN yang merupakan gagasan SBY. Sejak beberapa waktu lalu, politisi asal Partai Golkar ini juga telah merapatkan barisan dengan pengurus PSSI Provinsi dari seluruh Nusantara.

Nurdin seharusnya legawa meletakkan jabatan tanpa perlu didesak. Ia akan meninggalkan kantor PSSI di Senayan secara terhormat. Jasanya yang juga tidak sedikit pun akan tetap terkenang.

Mengenang Soeratin
Awal berdirinya PSSI tidak bisa dilepaskan dari perjuangan nasionalisme Indonesia. Pasalnya, organisasi ini lahir lebih dulu dari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. PSSI saat itu kepanjangannya adalah Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia, didirikan pada 19 April 1930 di Yogyakarta.

Jasa Ir Soeratin Sosrosoegondo sangatlah besar. Bersama sejumlah tokoh lain, Soeratin menggagas lahirnya sebuah perserikatan sebagai alat perlawanan terhadap NIVB (Nederlansch Indische Voetbal Bond). Saat itu, NIVB merupakan organisasi tertinggi sepak bola di Hindia Belanda. Corak kolonialisme sangat kental dalam pengorganisasian sepak bola yang dilakukan NIVB, bahkan sangat diskriminatif.

Beberapa bulan sebelum kongres pembentukan PSSI, terjadi satu peristiwa yang sangat menusuk perasaan bangsa pribumi. NIVB melarang adanya acara tersebut, dan menyebut inlander terhadap panitia voetbalwedstrijden Yogyakarta 1930.

Bagi bangsa Indonesia, 'inlander' adalah sebutan yang menyakitkan. Pada hakikatnya, ke-inlander-an adalah persoalan harga diri dan martabat manusia (R Dahlan Ranuwihardjo, St 1978).

Walhasil, dengan berdirinya PSSI, kaum pribumi memiliki wadah berekspresi dalam bidang olahraga yang sejajar dengan bangsa lainnya di Nusantara. Terpantik dengan semangat ini dan diskriminasi yang dilakukan NIVB, Susuhunan Paku Buwono X mendirikan Stadion Sriwedari di wilayah kekuasaannya, Surakarta.

Hanya dalam waktu delapan bulan, di bawah komando R Ng Tjondrodiprojo, stadion yang menghabiskan biaya 30 ribu gulden pun selesai dibangun. Stadion berbentuk oval itu dilengkapi trek atletik, sistem drainase yang baik, dan lampu sorot yang membuatnya bisa digunakan setiap saat. Sriwedari menjadi lapangan sepak bola terbaik di zamannya.

Persinggungan dengan politik
Sejak berdirinya PSSI, permasalahan sepak bola semakin meluas. Para politisi menyadari betul fenomena ini. Mereka pun tak segan memanfaatkan sepak bola sebagai saluran perjuangan paham nasionalisme. Pemerintah kolonial sangat khawatir dengan perkembangan ini. Setiap pertandingan besar tak ubahnya sebuah rapat umum yang mau merongrong kekuasaan mereka.

Dalam satu kesempatan, tepatnya pada 1932 saat berlangsungnya kejuaraan PSSI ke-II di lapangan Laan Triveli, Jakarta, sejumlah pemimpin pergerakan tampak hadir di kerumunan penonton. Bung Karno yang baru keluar dari penjara Sukamiskin mendapat kehormatan melakukan kick off tanda pertandingan dimulai.

Berbagai cara dilakukan Belanda untuk mengerdilkan PSSI. Salah satunya dengan mengintervensi Sizten en Lausada, perusahaan swasta tempat Soeratin bekerja untuk memecat Ketua Umum PSSI itu. Dengan besar hati, Soeratin rela dikeluarkan tak terhormat demi perjuangan.

Pemerintah juga menggunakan alasan politis untuk menjegal PSSI. Tim yang sudah siap diberangkatkan ke Paris untuk mengikuti Piala Dunia 1938 dilarang pergi, dan digantikan oleh tim NIVU. Keberadaan Husni Thamrin dan Ki Hajar Dewantoro di dalam kontingen dijadikan alasan. Atas berbagai ulah yang dilakukan Belanda, Soeratin mengambil tindakan tegas. Pada 1938, ia memutuskan secara sepihak General Agreement dengan kubu NIVU.

Setelah lebih dari enam dekade dan di era kemerdekaan ini, PSSI kini juga sedang dalam prahara. Mafia wasit, kerusuhan suporter, nirprestasi tim nasional, dan berbagai persoalan lainnya menjadi potret buram PSSI. Soeratin dikenang karena keberhasilanya membawa PSSI mengarungi badai. Bahkan, ia sampai rela kehilangan jabatannya sebagai eselon tinggi di Sizten en Lausada.

Bagaimana dengan Nurdin? Mampukah ia mengobati borok di tubuh organisasinya? Jika KSN diibaratkan sebagai dokter yang akan mendiagnosis dan mencari obat dari penyakit tersebut, apakah Nurdin mau menjalankan amanat KSN?

Opini Republika 31 Maret 2010 Selengkapnya...

Membenahi Kultur Birokrasi

0 comments

Gayus Tambunan, seorang pegawai rendahan di pajak yang kini buron, benar-benar sebagai dalang makelar kasus. Kini, publik makin yakin bahwa postur birokrasi yang gemuk sungguh subur bagi tumbuhnya iklim korupsi dan praktik penyimpangan lainnya.

Kita patut bertanya kepada para pihak yang memiliki otoritas kebijakan, kenapa setelah satu dasawarsa reformasi berlalu, bangsa ini sepertinya belum 'berani' menyentuh kasus-kasus korupsi besar, termasuk yang diduga bersemayam di balik struktur birokrasi pemerintahan kita? Sudah sejauh manakah para pejabat kita menunjukkan ketaatan terhadap hukum yang dibuatnya? Sudah sesuaikah perilaku yang dipratikkannya dengan nilai-nilai agama dan ajaran luhur bangsa, Pancasila. Sudah pantaskah tindakan kesehariannya sesuai dengan 'abdi negara'?



Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan kegelisahan publik yang menyeruak belakangan bersamaan dengan runyamnya pertumbuhan perilaku tak sehat yang menimpa para calon pemimpin bangsa. Kita hampir yakin bahwa kasus serupa juga dimungkinkan tumbuh subur dalam sektor birokrasi lain di mana tempat-tempat strategis sering menjadi incarannya.

Menyimak maraknya fenomena rapuhnya institusi-institusi birokrasi kita, hati kecil ini rasanya tergelitik sekali ingin meneriakkan pesan-pesan keadilan dan kebenaran yang kian sunyi dalam keriuhan kekuasaan dan pragmatisme hidup. Pesan kemanusiaan begitu mahal ketika ruang publik dan realitas kekuasaan politik kurang mengapresiasi pentingnya menyelipkan muatan nilai bagi struktur dan pelakunya, utamanya bagi mereka yang memiliki jabatan dan berada di posisi atas.

Ihktiar
Birokrasi sesungguhnya perangkat penting di dalam pemerintahan itu sendiri. Jika kultur birokrasi bersangkutan bermutu dan bersih, kualitas dan gerak langkahnya cenderung efektif. Lokomotif pembangunan sedikit banyak juga diayunkan melalui kelompok ini. Oleh karena itu, sektor ini mempertaruhkan arah dan prospek pembangunan yang dibikin pihak pimpinan puncak eksekutif dan para legislatif. Jika mereka terlibat penyimpangan anggaran dan praktik gelap, laju pembangunan yang ditunggu masyarakat akan tersumbat.

Secara teori, sistem pemerintahan yang berlandas di atas rel birokrasi spirit awalnya adalah memenuhi permintaan pelayanan dari rakyat sebagai pihak pemberi sah mandat. Birokrasi sebagai organisasi besar (meminjam istilahnya Trompenars & PrudHome) menganut budaya 'Eifel Tower', di mana organisasi jenis ini sering kali menggunakan mekanisme kerja yang cenderung pakem, mengutamakan hierarki struktural, berorientasi stabilitas, dan bercorak prosedural, bahkan acap kali bersifat sentralistik.

Dalam kondisi seperti ini, pola organisasi yang ada cenderung menggunakan kepemimpinan karismatik dan elitis, di mana kinerja organisasi seolah-olah terkendali melalui peran dominan individu pemimpinnya. Padahal, konsepsi birokrasi sendiri lebih banyak menganut pola kerja yang mengutamakan pembagian wewenang dan bagi tugas.

Budaya (kultur) tampaknya masih mendominasi warna dari dunia birokrasi kita. Meski, dalam hal lain, kurang optimalnya pengawasan serta lemahnya kepastian hukum akibat kurang kredibelnya aparat hukum kita bisa dijadikan representasi untuk menunjukkan bahwa kerja panjang membangunkan tidur lelap birokrasi harus menjadi perhatian kita bersama.

Suasana kultur yang mengental corak paternalistiknya turut mewarnai perilaku sebagian para pengambil kebijakan strategis di republik ini. Tanpa pertimbangan kompetensi, bisa jadi para pimpinan birokrasi di setiap levelnya lemah mengendalikan bawahannya. Sebaliknya, muatan kompetensi yang kini digandrungkan banyak pihak, ternyata faktanya kurang berbanding lurus dengan tingkat kebersihan di dalam institusinya.

Karena itu, aparatur pemerintah dan mereka yang akan menjadi calon-calon pejabat pemerintah sebaiknya memahami fungsi dan arti penting rumusan etik dan norma dasar yang bersumber dari tradisi-tradisi keagamaan, sembari perkembangan teknologi yang ada diintegrasikan sebagai satu sistem yang tak terpisah. Misalnya, dalam rangka memaksimalkan peran pengawasan, maka sebuah institusi perlu menggunakan standar kerja yang bisa didukung dari 'penyensoran' teknologi.

Dari kebutuhan ini, hendaknya para pegawai bisa menyadari dan memahami akan hal tersebut sehingga batasan-batasan profesionalitas seorang pegawai dapat ditanamkan sejak dini menyatu dengan unsur moralitas dan rumusan etik. Gaya hidup para pegawai pajak yang dianggap kurang patut dan memunculkan kesenjangan terhadap pegawai di sektor lain merupakan contoh nyata yang perlu diperhatikan. Secara bersamaan, akan menjadi indah jika para pegawai di sektor-sektor strategis seperti Pajak, Bea Cukai, Pertamina, Keuangan, dan Perbankan, perlu mengikat diri di dalam spirit hidup yang penuh dengan nuansa kesederhanaan. Hal ini sekaligus dapat difungsikan sebagai arena pengembangan citra pegawai pajak itu sendiri bahwa menjadi pegawai pajak ternyata juga bisa hidup penuh kepekaan.

Untuk itu, ke depan, pemerintah perlu serius mengkaji sisi permintaan sektor pegawai di dalam birokrasi karena logikanya permintaan kebutuhan akan pegawai di dalam struktur birokrasi yang modern, sesungguhnya kian efisien seiring dengan digantikannya peran-peran baru yang dapat diintegrasikan melalui fungsi teknologi. Pola semacam ini ikut menambah iklim produktivitas pegawai yang tidak saja dimulai dari seleksi kualitatif awal (seperti fit and proper test, melainkan dapat menekan angka gaji yang sering kali dijadikan dalih dan teori.

Melemahnya kultur birokrasi dan menurunnya tingkat kualitas sumber daya (misalnya tidak bersih), secara teori dipicu tiga hal mendasar: Pertama, sistem nilai yang ada tak dijalankan sepenuh hati. Kedua, aturan hukum yang mengikat tidak dilengkapi dengan aparat dan aktor penjaganya yang kredibel. Dan ketiga, struktur yang terbentang tak dibangun di atas sistem pengawasan yang memadai dan bermutu.

Opini Republika 31 Maret 2010 Selengkapnya...

Toggle

Contributors